BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang menganut sistem demokrasi, dimana kedaulatan rakyat diakui, sehingga kekuatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dengan berjalannya sistem demokrasi, hak-hak asasi manusia yang dimiliki tiap individu dapat dijamin karena hak-hak tersebut turut berpengaruh dalam proses berjalannya sebuah pemerintahan Negara. Hal ini berarti mereka dapat berekspresi dan mengeluarkan aspirasi baik dalam bentuk tulisan maupun lisan yang tentunya harus dengan memperhatikan waktu dan tempat, serta tanggung jawab yang penuh.
Kebebasan berekspresi tetap harus menghormati aturan-aturan moral yang berlaku secara umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperhatikan tata cara dimana unsur kekerasan tidak terdapat di dalamnya; misalnya, unjuk rasa yang tidak disertai dengan aksi pembakaran, penjarahan, maupun perkelahian yang seringkali berujung pada kerusuhan. Perilaku negatif tersebut di atas merupakan contoh-contoh pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, karena mengganggu ketertiban dan keamanan bersama. Negara dan pemerintah bekerjasama dalam mengatur etika mengungkapkan pendapat untuk mewujudkan ketertiban umum, keamanan nasional, moralitas masyarakat, dan terjaminnya hak-hak masyarakat.
Dewasa ini, disadari atau tidak, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat di muka umum sering melenceng dari aturan yang sebenarnya, dimana kehendak dari masing-masing individu dikeluarkan dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan lagi batasan-batasan yang ada. Tentunya, peran dari aparat keamanan serta hukum dalam pemerintahan sangat dibutuhkan demi menjaga keamanan umum dan ketertiban bersama dalam masyarakat. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menerapkan prinsip bebas bertanggungjawab terhadap warga negara Indonesia di depan umum.
B. Rumusan Masalah
1. Pasal berapakah yang terdapat dalam UUD 1945 yang mengatur tentang kebebasan dalam mengeluarkan pendapat? Jelaskan!
2. Dalam dunia Internasional, adakah pasal yang mengatur tentang kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum?
3. Di dalam negara yang demokratis, sulitkah mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku ketika kita mengeluarkan pendapat di muka umum?
C. Tujuan Penelitian
Negara kita merupakan negara demokrasi. Kita pun menjunjung nilai persatuan dan kesatuan bangsa kita. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah kita dapat mengerti dan memahami apakah sebuah makna dari demokrasi. Demokrasi berarti adil. Adil dalam bentuk apapun. Misalnya dengan mengeluarkan pendapat, pendapat yang kita berikan kepada masyarakat merupakan hak kita dalam mengeluarkan pendapat sebagaimana telah tertulis dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28 tentang mengeluarkan pendapat. Pendapat yang kita berikan hendaknya sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Nilai dan norma yang dimkasud adalah cara dari kita menyampaikan makalah, topik apakah yang akan kita bicarakan di muka umum, dan bagaimana penyampaian dari makalah ini agar dapat dimengerti oleh pembacanya. Tujuan dari pembuatan makalah ini disamping membuat pembaca mengerti bagaimana dan apa yang disajikan di dalamnya, tetapi makalah ini dapat membuat pembacanya ingin turut ikut serta dalam memberikan pendapatnya di muka umum.
D. Metode Penelitian
1. Studi Lapangan (Field Study) yaitu Teknik Observasi, yakni melakukan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala yang diteliti.
2. Studi Kepustakaan (Literature Study), yaitu usaha-usaha untuk memperoleh data dengan membaca berbagai buku sebagai kajian atau landasan teori.
3. Teknik Pengumpulan Data, yaitu menggunakan data kualitatif.
E. Sistematika Uraian
BAB I : Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika uraian.
BAB II : Bab ini berisi tentang pembahasan tentang kebebasan
mengeluarkan pendapat di muka umum.
BAB III : Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA : Daftar Pustaka berisi tentang berbagai buku dan situs
yang menjadi referensi penulis dalam pembuatan
makalah ini.
BAB II
ISI
KEBEBASAN MENGELUARKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
Legislasi atas kebebasan mengemukakan pendapat diprakarsai oleh Anders Chydenius di kerajaan Swedia. Sekarang hak untuk mengajukan pendapat, telah dijamin dalam hukum Internasional, terutama pasal 19 yang berisi hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat.
Dalam hukum Internasional, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, dibutuhkan tiga batasan, yakni :
- Sesuai dengan hukum yang berlaku
- Punya tujuan baik yang diakui masyarakat
- Keberhasilan dan suatu tujuan sangat diperlukan
Menurut John Stuartmill, untuk melindungi kebebasan berpendapat sebagai hak dasar adalah ”Sangat Penting Untuk Menemukan Esensi Adanya Suatu Kebenaran”.
Kesetaraan martabat dan hak politik mengidentifikasi tentang kesamaan hak politik dari setiap warga negara, termasuk hak mendapatkan akses untuk informasi politik serta kebebasan mendiskusikan dan mengkritik figure public. Dalam negara demokrasi, selain menghargai mayoritas, juga pelaksanaan kekuasaan harus bertanggung jawab dan responsive terhadap aspirasi rakyat. Di Indonesia sendiri hak ini telah dicantumkan dalam pasal 28 ayat 28E ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang berisi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Sebagai contohnya adalah : Tahun 1998 di saat awal mula tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto, terjadi peristiwa dimana puluhan ribu mahasiswa berunjuk rasa dan turun ke ruas jalan raya di kota Jakarta.
Contoh-contoh awal moment unjuk arsa berubah menjadi gerakan yang narkis dan melanggar tata tertib sosial yaitu berupa perampokan, penjarahan, dan pembakaran yang memakan banyak korban jiwa. Dengan melihat kondisi seperti itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan penndapat di muka umum yang menyatakan bahwa ”Mewujudkan Kebebasan Bertanggung Jawab Sebagai Salah Satu Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Sesuai Dengan Pancasila dan UU 1945”.
Sesuai dengan pendapat diatas, ”Setiap Warga Negara Yang Akan Menyelenggarakan Unjuk Rasa Mempunyai Hak dan Kewajiban Yang Harus Dipatuhi”. Hak dan Kewajiban tersebut diatur dalam pasal 5 dan 6 UUD no.9 tahun 1998. Hak-hak yang dimiliki warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum yaitu dengan mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum. Sedangkan kewajiban yang harus di tanggung jawabkan anatara lain :
- Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain
- Menghormati aturan-aturan moral yang diakui publik
- Mentaati hukum dan ketentuan peraturan yang berlaku
- Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum
- Menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa
Pemahaman yang selama ini berkembang bahwa pada masa reformasi ini kebebasan dikeluarkan dengan sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendak masing-masing individu tersebut tanpa ada pembatasan-pembatsan apapun. Undang-undang tidak membatasi adanya kebebasan mengelurkan pendapat di muka umum. Akan tetapi, undang-undang bermaksud menjaga tertib sosial yang telah tercipta di dalam masyarakat.
Mengapa Kebebasan Mengemukakan Pendapat itu Penting?
Menyampaikan pendapat adalah hak setiap orang. Sikap kritis dapat ditunjukkan sebagai kritik sosial adalah perwujudan dari kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum baik secara lisan maupun tulisan .
Dan mengapa kritik social ,dalam hal ini kebebasan mengemukakan pendapat menjadi penting dikedepankan padahal kemajuan reformasi politik akhir-akhir ini juga tak dapat disangkal?
Alasan yang pertama, tindakan kekuasaan negara (state power)melalui pemerintah, parlemen, lembaga kehakiman serta para pejabat yang berwenang lainnya tidaklah untuk negara itu sendiri, melainkan seharusnya untuk memajukan kesejahteraan umum, melindungi kemerdekaan warga dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi faktanya, banyak operasi kekuasaan ini yang cenderung korup.
Yang kedua, para pemegang kekuasaan dalam institusi-institusi negara terbuka untuk melakukan penyelewengan dari wewenang dan tanggung jawabnya baik demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Kendati reformasi politik mulai terlembaga, tapi faktanya penyelewengan seperti korupsi terus saja meluas dan pelakunya tanpa malu-malu melakukannya.
Yang ketiga, setiap penyelewengan kekuasaan (abuse of power) dapat merugikan dan mengancam atau membahayakan. Korupsi yang dilakukan para pemegang kekuasaan dipastikan merugikan kepentingan dan tujuan memajukan kesejahteraan umum. Sementara perilaku otoriter atau sewenang-wenang dipastikan mengancam atau membahayakan pelaksanaan hak-hak warganya.
Dengan pertimbangan di atas, maka kebebasan masyarakat dalam mengemukakan pendapat berupa kritik sosial sangatlah penting sebagai jalan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja para pemegang kekuasaan tersebut. Jika para pemegang kekuasaan menjalankan otoritasnya tanpa dikritik, tampaknya kekhawatiran segera terjadinya penyimpangan sulit dihindarkan. Seolah-olah mereka beroperasi tanpa ada pihak yang mengingatkan dan mengawasinya.
Setiap kritik yang diungkapkan bukan saja sebagai bagian dari pelaksanaan kebebasan menyampaikan pendapat, tapi juga pelaksanaan reformasi politik dapat diingatkan dari berbagai penyelewengan. Prinsipnya, harus ada pihak lain yang memberikan penilaian atas perilaku dan kinerjanya, sehingga ia dapat diimbangi dan memperingatkannya untuk kembali di jalur reformasi dan perang melawan KKN. Maka itu,apabila ada sejumlah pihak yang mengutarakan pendapat mereka dengan cara melakukan kritik terhadap para pelaku pemerintahan itu sendiri.
Secara nasional, mengemukakan pendapat kita akan membantu pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berpendapat dan pengembangan kritik akan mendidik orang untuk berpikir, mengemukakan pendapat, melengkapi dengan argumentasi, serta kemampuan dalam membaca suatu persoalan dan selanjutnya menemukan solusinya.
Sebagai contoh, mantan bos badan intelijen KGB yang kini Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah dikritik oleh banyak kalangan atas kebijakan dan langkah yang diambilnya termasuk kasus penyanderaan di Beslan dan pengebirian demokrasi. Ia bahkan dikritik tidak becus. Kritik juga diutarakan mantan pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Tapi Putin tak mengambil tindakan mengusir pengamat internasional maupun menahan atau menggugat orang-orang yang mengkritik ke pengadilan. Ia hanya menjawab semua kritik ini dengan lisan atau tulisan. Dan sekarang terbukti bahwa atas kepemimpinan dia di Rusia,perekonomian di Rusia membaik .Hal ini membuat banyak orang simpatik kepadanya.Terbukti,tanpa kekerasan,suatu negara dapat berjalan dengan baik.
Partisipasi masyarakat juga harus ditingkatkan.
Dengan mendasarkan pada argumentasi di atas, pentingnya kebebasan berpendapat dengan kritik sosial menjadi sarana perimbangan terhadap operasi kekuasaan yang dijalankan oleh mereka yang berwenang di negara ini. Diharapkan pula para pemegang wewenang ini tak lantas berbuat sewenang-wenang dengan hak – hak mereka dan menyelewengkan keuangan negara yang justru dibutuhkan bagi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya warganya.
Para pemegang wewenang yang diduga telah melakukan kesalahan atau tak becus bekerja harus ditindak tegas. Penilaian atas berbagai kelemahan kinerja bertujuan untuk segera memperbaikinya demi kemajuan di masa depan. Tugas-tugas mereka yang kurang efektif, harus segera diperbaiki efektivitasnya. Tindakan membuang-buang waktu, harus ada solusi untuk menjadwalkan ulang aktivitasnya. Perilaku yang memboroskan biaya, harus diambil langkah yang rasional.Dan yang peling penting adalah mereka herus bersedia menerima kriktik-kritik yang diberikan pada mereka,dan bertanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka sebelumnya.
Dalam mengembangkan sikap kritis, setiap upaya menggerakkan kebebasan menyampaikan pendapat haruslah diletakkan dalam relasi antara negara (state) dan masyarakat warga (civil society). Kritik yang didasarkan pada partisipasi masyarakat mempunyai sumbangan penting bagi pembentukan masyarakat. Kepentingan publik lebih ditekankan ketimbang kepentingan eksklusif segelintir orang.
Pendapat dan kritik apa pun pendapat yang disampaikan kepada para pemegang kekuasaan atau wewenang tertentu bertalian dengan perilaku dan kinerjanya haruslah dilancarkan secara terbuka dan tidak boleh ditentang dan dilarang oleh pihak manapun. Dengan keterbukaan inilah suatu pendapat/kritik yang disampaikan dapat diketahui publik, sehingga memungkinkan timbulnya respons tak hanya bagi yang menerima kritik, juga bagi orang lain yang mengetahuinya.Selain itu ,Kritik-kritik tersebut sangat berguna dalam membangkitkan partisipasi masyarakat luas untuk bersatu memperbaiki dan me-monitori kinerja dari pemegang kekuasaan. Apabila ada suatu persoalan umum yang menjadi keprihatinan mereka. Ia akan berkembang dalam suatu diskusi, dan bergerak lebih jauh dengan menyampaikan atau menyuarakan pendapat di muka umum yang bergulir sebagai protes.Kalangan mahasiswa, buruh, orang-orang yang tergusur, LSM dan pihak-pihak yang menaruh keprihatian atas persoalan umum lah yang paling banyak menuntut kebebasan mereka untuk mengemukakan pendapat meraka.
Setiap upaya melancarkan kritik dapat ditingkatkan dalam suatu kegiatan yang terlembaga. Keberadaan LSM yang secara khusus menangani isu-isu tertentu seperti hak-hak asasi manusia dan korupsi. Beroperasinya LSM pengawas (watch) dan studi sampai advokasi menunjukkan perkembangan ini. Kendati begitu, perluasan partisipasi warga jauh lebih penting mengingat dari sinilah kekuatan pendapat dan kritik dapat dibangun dan peluang menuj kesuksesan pada akhirnya menjadi cepat terrealisasi.Yang paling penting adalah,apapun keadaannya,apabila ada pihak yang ingin mengutarakan pendapat mereka,tidak boleh dicegah atau dihentikan,karena sekarang adalah jaman reformasi yang berdasarkan pada asas kebebasan...
Dikembangkan dari pernyataan Ketua Majelis Anggota PBHI
Beberapa Contoh dari Peristiwa Pelanggaran Hak untuk Mengemukakan Pendapat.
v Kasus Bank Mandiri
Sumber : Artikel Poskota Minggu 12 Agustus 2007
FSPMBB Sayangkan Bank Mandiri
Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSPMBB) menyayangkan penjatuhan sanksi terhadap sejumlah karyawan Bank Mandiri yang berunjuk rasa menuntut peningkatan kesejahteraan.
Menurut Ketua FSPMBB Arif Poyuwono melalui siaran persnya, sikap manajemen Bank Mandiri sangat disayangkan. Hal itu mencerminkan ketidakfahaman manajemen terhadap aturan kebebasan mengemukakan pendapat dan hak pekerja.
“Seharusnya menejemen Bank Mandiri memahami dan menghormati kemerdekaan anggota dalam mengemukakan pendapatnya di muka umum,” kata Arif. “Akan lebih baik bila manajemen Bank Mandiri mendengarkan dan mendiskusikan tuntutan mereka.”
Sebelumnya Serikat Pekerja Bank Mandiri (SPBM) berunjukrasa menuntut peningkatan kesejahteraan. Buntutnya, sejumlah karyawan yang dianggap sebagai pelopor dikenai sanksi oleh perusahaan.
Arif menegaskan manajemen Bank Mandiri bisa dipidana karena diduga menghalang-halangi kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum.
Karenanya, FSPMBB minta Meneg BUMN memeriksa Direksi Bank Mandiri. Selain itu, juga minta digelarnya RUPSLB terkait dengan skorsing dan intimidasi terhadap pekerja yang menggelar unjuk rasa.
Sesuai dengan Undang Undang dan aturan yang berlaku.Kebebasan setiap orang untuk berpendapat haruslah dihormati oleh semua orang,tidak terkecuali.
Manajemen bank Mandiri harusnya dapat menghormati hak para karyawan untuk mengutarakan pendapat mereka.Adanya ketidakfahaman manajemen terhadap aturan kebebasan mengemukakan pendapat dan hak pekerja yang menimbulkan sejumlah karyawan yang dianggap sebagai pelopor dikenai sanksi oleh perusahaan. Dimana seharusnya hal tersebut tidak terjadi. Dalam kasus ini,adalah benar apabila manajemen Bank Mandiri bisa dipidana karena telah melanggar peraturan yang berlaku.
v Kebebasan Pers untuk Berekspresi Terancam
Sumber : Kompas
Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga kebebasan berekspresi dari masyarakat. Bila RUU KUHP itu disahkan, demokratisasi di negeri ini tidak akan bisa berjalan.
Dalam Memorandum Dewan Pers untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia disebutkan pasal-pasal dalam RUU KUHP yang berpotensi membelenggu hak-hak masyarakat untuk berpendapat, berekspresi, dan berkomunikasi. Aturan itu jelas sekali bertentangan dengan Pasal 28 Amandemen UUD 1945 serta Tap MPR XVII/1978 tentang Hak Asasi Manusia.
Memorandum itu dibacakan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal, seusai diskusi bertema "Kebebasan Pers dan RUU KUHP" di Jakarta, Selasa (3/5).
"Catatan yang kami berikan ini untuk memberikan dorongan kepada publik agar mau benar-benar mempelajari RUU KUHP. Masyarakat harus menyadari persoalan RUU KUHP ini sangat penting, bukan hanya bagi wartawan tetapi juga untuk kepentingan demokrasi," kata Ichlasul.
Dewan Pers menyebutkan, setidaknya terdapat 49 pasal karet dan juga ketentuan pasal-pasal dalam UU Subversi yang pernah dicabut MPR.
Beberapa pasal-pasal karet itu, misalnya, menyangkut penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, pembocoran rahasia negara, penghinaan, penghasutan, penyiaran berita bohong, pornografi, pencemaran nama baik dan fitnah.
Berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, Dewan Pers berpendapat RUU KUHP menjadi ancaman bukan saja karena tetap dipertahankannya pasal-pasal karet melainkan juga penetapan sejumlah pasal dengan menggunakan delik formal. Misalnya mengenai penyebaran kabar bohong dan berita tidak pasti, seorang wartawan bisa dihukum hanya karena dugaan menyebarkan kabar yang diketahui dan menimbulkan keonaran (pasal 307 RUU KUHP).
"Pasal-pasal itu tidak hanya mengancam pers tetapi juga masyarakat yang sedang berunjuk rasa, pembicara diskusi, penceramah, ilmuwan bahkan seniman pun bisa terkena hukuman pidana," ujar Ichlasul.
Selain itu, Dewan Pers juga menilai, adanya ketentuan pidana tambahan dalam RUU KUHP berupa pencabutan hak menjalankan profesi juga dirasakan berlebihan. Profesi wartawan bisa dicabut oleh negara jika negara memandang terjadi pelanggaran profesi. "Padahal semestinya pencabutan profesi merupakan domain organisasi profesi, bukan wilayah yang diatur negara," katanya
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana seharusnya ditinjau ulang karena sama saja dengan pengekangan kebebasan pers.Apabila RUU ini disah-kan,sama saja dengan kembalinya zaman dimana pers dipasung,dan tidak boleh berekspresi .Hal ini akan menimbulkan ketidak terbukaan dalam masyarakat yang tentunya menuntut transparasi dari pemerintahan,yang selama ini.
v Mengecam Kekerasan Terhadap Kebebasan Pers
Terkait dengan insiden jatuhnya reporter Suara Surabaya, Faiz Fajaruddin, yang hendak meliput kedatangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Jendral (Pol) Da'i Bachtiar, yang menurut infomasi akan datang ke Hotel Sheraton, Jumat malam itu (27/5). Namun, Faiz ditarik dan terjatuh. Kekerasan tersebut dilakukan Kepala bidang Hubungan Kemasyarakatan Kepolisian Daerah Jatim, Komisaris Besar Endro wardojo (Kompas, 31 Mei 2005).
Pelarangan peliputan yang dilakukan Kepala Bidang Humas Polda Jatim, Komisaris besar Endro Wardojo, merupakan bentuk kekerasan terhadap Kebebasan Pers, dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kami mengutuk aparat polisi yang telah melakukan tindak kekerasan yang dilakukan pada kawan-kawan wartawan. Sebenarnya, aparat polisi sebagai penegak hukum dan pelayan serta pelindung bagi masyarakat, tidak seharusnya memperlakukan wartawan yang sedang mencari informasi, demi kelangsungan proses demokrasi.
Surabaya, 31 Mei 2005
Sumber :
BC Nusantara, S.H.
Deputi WALHI Jatim
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Pasal 19 DUHAM menyebutkan:
Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini, termasuk memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media massa, dengan tidak memandang batas.
Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.
Ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia, umumnya datang dari dua pihak, yakni penguasa dan pemodal. Bentuk ancaman tersebut umumnya terjadi pada masa Orde Baru. Namun, setelah reformasi, keadaan berubah. Harus diakui keterbukaan informasi mulai terjadi. Pers bebas memberitakan segala tindak tanduk pemerintah, khususnya setelah UU Pers yang baru, UU No. 40 tahun 1999 ditetapkan.
v Penerapan Undang-Undang Kolonial Dan Praktek-Praktek Era Soeharto Untuk Menahan Para Aktivis Politik
Meskipun ruang gerak politik bagi perbedaan pendapat meningkat luar biasa sejak kejatuhan Soeharto, aturan-aturan tertulis yang membatasi kebebasan berpendapat masih tecantum secara luas pada kitab-kitab (undang-undang), dan berlangsung terus dalam rangka memudahkan penguasa-penguasa mencapai target pribadinya secara sewenang-wenang. Aturan hukum tersebut, pada wujud dan dalam prakteknya, melanggar hak asasi untuk kebebasan berpendapat. Pasal 19 dari Deklarasi Universal HAM, yang secara luas dianggap sebagai cerminan hukum adat internasional mengenai HAM, menyatakan: “Setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan berekspresi.”
Pasal 28 UUD 1945 mengacu pada kebebasan berpendapat, namun perundang-undangan dan dan peraturan-peraturan di bawahnya melarang hak dasar ini. Akibatnya adalah ,demi hukum, orang Indonesia masih dapat dijebloskan dalam penjara karena “menghina” presiden, atau mengungkapkan “perasaan benci” menentang pemerintah, bahkan sentimen-sentimen semacam itu ditawarkan sebagai bagian dalam menjalankan perbedaan politik secara damai.
Untuk tujuan laporan ini, Human Rights Watch mengamati secara khusus para aktivis anti kekerasan yang ditangkap, ditahan dan dihukum berdasarkan dua kategori/kelompok pasal dalam KUHP.
· Pasal KUHP mengenai tindak kriminal menentang pemerintah yang berkuasa .Pasal 134, 136, dan 137 memuat tuduhan mengenai “penghinaan” terhadap presiden dan wakil presiden Indonesia dan menetapkan hukuman kriminal bagi siapa saja yang menyebarkan, berdemo secara terbuka atau memasang tulisan atau gambar yang isinya menghina presiden atau wakil presiden. Pasal ini menetapkan hukuman selama-lamanya enam tahun penjara untuk pelanggaran tersebut.
· Pasal KUHP mengenai “penyebaran kebencian” .Pasal 154,155 dan 156 memuat tuduhan mengenai “ungkapan perasaan masyarakat yang bersifat memusuhi, membenci ataupun memandang rendah pemerintah” dan melarang “mengungkapan perasaaan dan pandangan semacam itu melalui media massa.” Pasal ini menetapkan hukuman selama-lamanya tujuh tahun penjara untuk pelanggaran tersebut.
Sebagai sisa-sisa peninggalan pemerintah kolonial Belanda, pasal-pasal ini sering dipakai oleh pemerintahan Soeharto untuk melarang kebebasan berpendapat. Lawan-lawan politik, para kritikus, mahasiswa dan pembela HAM dijadikan sasaran dan dibungkam. Pasal-pasal ini tidak saja tunduk terhadap interprestasi yang terlalu melebar, namun banyak esensinya yang membatasi hak-hak individu dalam mengeluarkan pendapat. Pasal-pasal ini juga melanggar semangat yang tercantum dalam UUD Indonesia, yang mencoba melindungi hak tersebut pada saat kemerdekaan.
Dalam suatu persidangan baru-baru ini terhadap serorang aktivis yang dituduh menghina Presiden Megawati, pembela menyimpulkan argumen-argumennya dengan menyatakan bahwa:
Pada pasal 134 dan pasal 137 (1) KUHP substansi tindak kriminal belum sepenuhnya bisa dimengerti. Konsekuensinya adalah masih terbuka kesempatan bagi para pemegang kekuasaan, yang dalam hal ini diwakili oleh kepolisian dan jaksa penuntut, untuk mengadakan interpretasi mutlak terhadap aksi-aksi individu; baik aksi itu berupa tindakan, perkataan, atau bahkan pemikiran, yang berbeda dari pendapat penguasa yang berlaku. Hal ini tentu sungguh berbahaya bagi perkembangan proses demokrasi, pertumbuhan HAM, dan perkembangan hukum di Indonesia.
Kelompok-kelompok HAM dan para reformis, di Indonesia dan di luar negeri, berharap bahwa di negara Indonesia yang demokratis pasal-pasal ini bisa dicabut. Munarman, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI di Jakarta, berkata kepada Human Rights Watch: “Hanya ada dua cara untuk menghentikan penggunaan undang-undang tersebut melawan politik. Anda dapat menghentikan penggunaannya dalam praktek, tetapi hal ini saja kurang kuat. Yang efektif adalah anda harus mencabutnya dari KUHP.”
Sejak Megawati kembali berkuasa warisan legislatif ini telah dihidupkan kembali oleh pemerintahannya. Walaupun sejumlah isu mengenai orang-orang terkenal yang menggoyang Indonesia sudah diberikan pada saat itu, pekembangan tersebut sedikit mendapat perhatian baik dari dalam dan luar negeri. Akan tetapi kebebasan berpendapat adalah suatu kondisi yang diperlukan untuk menjalankan hak-hak lainnya, dan dakwaan-dakwaan yang sudah disebutkan tadi memberikan gambaran mengenai seluruh pencapaian HAM yang terjadi di Indonesia sejak lengsernya Soeharto
Human Rights Watch menghimbau pemerintahan Indonesia dan MPR untuk mencabut pasal-pasal mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal-pasal mengenai “penyebaran kebencian”. Selanjutnya, pemerintah Indonesia harus membuat suatu komitmen terbuka untuk tidak lagi melakukan dakwaan dengan menggunakan pasal-pasal tersebut, menghapus setiap tuduhan yang tak beralasan menurut pasal-pasal tersebut, dan melepas semua orang yang ditawan dan dipenjarakan karena melanggar pasal-pasal tersebut.
Di zaman reformasi seperti sekarang ini Pasal KUHP yang masih tidak adil terhadap masyarakat yang mengutarakan pendapatnya,dimana istilahnya karena adanya undang undang yang berlaku masyarakat Indonesia masih dapat dijebloskan dalam penjara karena “menghina” presiden, atau mengungkapkan “perasaan benci” menentang pemerintah.Apabila memang kesalahan ada di pihak masyarakan yang bias dibilang melakukan suatu tindak provokasi dengan demo-demo yang mereka lakukan dan merugikan banyak pihak,mungkin adanya KUHP ini memang dapat menciptakan keadilan di Negara ini.Tetapi fakta yang ada selama ini,mereka yang melakukan protes memang benar-benar mewakili apa yang ada di pikiran rakyat,dimana pemerintah atau pihak yang berwenang melakukan kesalahan dalam kinerja mereka hal ini tentunya memudahkan penguasa-penguasa bertindak secara sewenang-wenang karena siapapun yang menentang mereka dapat dijatuhi hukuman karena ada hokum yang memberatkan mereka danterbuka kesempatan kepolisian dan jaksa penuntut yang menangani kasus ini, melakukan penilaian mutlak terhadap aksi-aksi individu-individu baik tindakan, perkataan, atau bahkan pemikiran, yang berbeda dari pendapat penguasa yang berlaku. Hal ini tentu sungguh berbahaya bagi perkembangan proses demokrasi, pertumbuhan HAM, dan perkembangan hukum di Indonesia.Maka itu,partisipasi semua kalangan masyarakat sangat diperlukan,dan tentunya adalah kesadaran dari pihak berwenang yang memiliki posisi tinggi di pemerintahan ini.Mulai dari presiden,para menteri,para anggota dewan,serta para polisi dan jaksa.
v Denda untuk Koordinator Urban Poor Consortium (UPC).
Sumber : INDOMEDIA
Koordinator Urban Poor Consortium (UPC), Wardah Hafidz, akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum denda Rp2.200 dalam kasus berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan bersama ratusan abang becak tanpa seizin polisi.
Majelis Hakim Pangadilan Negeri Pusat menilai Wardah terbukti melanggar pasal 510 dan 511 KUHP junto UU 9/1998 tentang kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum.
Namun keputusan majelis dalam sidang yang digelar Selasa (29/2) pagi itu, tanpa dihadiri tersangka Wardah karena dia bersama para penasihat hukumnya melakukan walk out sebagai ungkapan protes.
Wardah dan tim penasihat hukumnya menolak sidang, karena UU yang digunakan merupakan produk rezim otoriter.Ditambahkan, pihaknya juga menolak karena polisi yang menggebuk ternyata juga memeriksa, menuntut dan menyerahkan berkas ke pengadilan.
Sementara pengadilan, menurut dia, mau saja menerima berkas itu sehingga digelar sidang. "Dari sini terlihat, pengadilan hanya merupakan alat kekuasaan, karena itu perlu direformasi."
Karenanya, tambah dia, Wardah dkk tak mau mengulangi pengadilan kasus 27 Juli yang merupakan peradilan sesat.
Menurut Jhonson, Wardah bersama tukang becak berunjuk rasa supaya mendapat perhatian pimpinan pemerintahan. Siapa lagi yang akan mendengar kalau bukan pimpinan pemerintah.
Seperti diketahui, Wardah Hafidz ditangkap aparat Polda Metro ketika berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan, Senin (28/2) malam.Ia kemudian langsung diperiksa di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya dan terpaksa menginap di Mapolda bersama 10 abang becak.Selama di Mapolda, Wardah sempat ditengok dua anggota PKB, Effendi Choirie dan Andi Nazmi Fuaidi. Keduanya menjenguk Wardah untuk memberikan dukungan moral.Usai diperiksa, polisi segera menyerahkan berkas di pengadilan, yang langsung menggelar sidang tipiring itu
Masih terdapat pro-kontra terhadap undang undang yang mengatur kebebasan seseorang untuk berpendapat.Undang –undang yang ada dianggap merupakan produk rezim otoriter dimana kurang menjunjung kebebasan masyarakat untuk berpendapat.Dilain pihak,pihak yang berwenang juga melakukan tindak semena-mena terhadap meraka yang melakukan aksi demo.Bagaimana keadilan dapat tercapai apabila pihak berwenang pun tidak dapat bersikap adil.
Maka diharapkan demi tercapainya keadilan.janagn ada lagi tindakan semena-mena dari pihak berwenang atas dasar ada hokum yang berlaku kepada meraka yang mempejuangkan haknya,selama apa yang diperjuangkan adalah benar dan demi kesejahteraan banyak pihak,tidak ada yang boleh mengekang mereka.Kebebasan pendapat haruslah dijunjung tinggi.
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan
Kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum sangat penting sekali di dalam Negara Indonesia karena Negara Indonesia menganut system demokrasi. Dengan adanya kebebasan tetapi kita semua sebagai warga Negara yang baik harus menaati aturan – aturan moral secara umum dan menaati hukum, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperhatikan tata cara dimana unsur kekerasan tidak terdapat di dalamnya.
kebebasan berpendapat di muka umum sering melenceng dari aturan yang sebenarnya, dimana kehendak dari masing-masing individu dikeluarkan dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan lagi batasan-batasan yang ada. Maka dari itu kita harus mengetahui sampai mana kita bebas mengeluarkan pendapat sesuai dengan Undang – Undang 1945.
B. Saran
Dengan adanya kebebasan berpendapat kita sebagai warga Negara yang baik harus menaati norma – norma atau peraturan – peraturan yang ada di Negara Indonesia, selain itu kita harus sama – sama saling menghormati apabila ada perbedaan pendapat diantara masyarakat. Dengan begitu tidak ada lagi kekerasan yang karena perbedaan pendapat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
mas kayanya ada yang kurang tuh..??
ReplyDeletemakasih ka infonya, bermanfaat banget buat tugas akhir semester saya
ReplyDeletemakasih ka infonya, bermanfaat banget buat tugas akhir semester saya
ReplyDelete